top of page

Shime-machi (Shime Town)

  • DJ
  • Nov 9, 2017
  • 3 min read

[Bagi yang mengenal atau pernah bertemu saya, kalian bisa mencoba menghayati setiap tulisan saya dengan membayangkan suara saya dalam setiap kata yang kalian baca. Semoga pesan dan perasaan yang saya titiskan dalam setiap katanya dapat terasa.]



--- --- ---



Akhirnya kami menginjakkan kaki di Fukuoka setelah lebih dari 12 jam perjalanan total dari Cengkareng. Dengan muka berminyak, rambut lepek, dan sedikit gegar suhu (temperature shock – istilah karangan saya sendiri), kami berenam bertemu staf perusahaan yang menjemput kami lalu diantar menuju kantor. Sepanjang perjalanan, aku duduk di bangku paling belakang samping jendela, sibuk mengamati suasana sekitar daripada bercakap-cakap dengan staf orang Jepang yang sedang menyetir seperti yang dilakukan teman-teman. Aku berada di suatu kota kecil yang tenang. Semua seakan bernuansa cokelat. Bangunan rumah-rumah, pepohonan, taman. Jalan raya juga tidak terlalu lebar. Sesekali terlihat konbini di pojokan. Langit siang itu mendung seperti sore hari. Benar-benar suatu daerah pinggiran yang tenang dan damai. Inilah rumah baru kami, Shime-machi.

Shime-machi adalah tempat awal perjalanan yang panjang dan berliku. Kota kecil ini telah menjadi saksi bisu kerasnya tiga bulan pertamaku di Jepang. Mataharinya selalu membangunkanku di pagi hari, seakan menyemangatiku, “Coba lagi hari ini, coba lagi hari ini”. Jalanannya selalu mengamatiku yang mengayuh sepeda dengan susah payah agar sampai kantor tepat waktu. Angin malamnya sungguh dingin menerpa wajahku, seakan berusaha mengalihkan kesepianku saat bersepeda pulang dari kantor. Langitnya selalu mendengar doa-doaku tiap malam dalam kesendirian.


Shime-machi (Shime Town) adalah sebuah kota satelit di pinggiran Kota Fukuoka. Bandara Fukuoka berada di kota mungil ini. Suasananya? Tipikal kota pinggiran Jepang yang tenang dan damai. Jalanan sepi. Mobil jarang. Di sore hari ada anak-anak beransel pulang sekolah. Sesekali terlihat kakek-kakek atau nenek-nenek mengajak anjing jalan-jalan. Perumahan ada. Sungai ada. Konbini ada. Pasar swalayan ada. Sekolah ada. Taman ada. Sento ada. Mal ada. Pachinko ada. Stadion ada. Starbucks ada (bangunan dan lokasinya bagus, romantis). Lalu terakhir ada kantor saya.




Warganya bertahan hidup dengan “Iong Moru” (AEON Mall), “Famima” (Family Mart), dan “Sebun” (Seven-Eleven). Di sana juga ada pasar swalayan kesukaanku tempat biasa membeli bahan makanan, yaitu TRIAL (supermarket diskon) dan Joint (deket aja sama apartemen). Karena kota kecil, semua-muanya mudah diakses dengan bersepeda. Hiburan warga? Akhir pekan biasanya ke kota (Fukuoka) tinggal naik kereta bawah tanah atau bis sekali jalan. Hiburan sehari-hari? Ada AEON Mall, Hamazushi (nama sebuah restoran sushi), dan pachinko.


Orang pergi ke Shime-machi palingan hanya untuk ke bandara. Itu pun tidak perlu keluar bandaranya karena dari stasiun sentral Hakata di pusat kota bisa langsung sampai di stasiun kereta bawah tanah di dalam bandara. Yang paling ikonik mungkin adalah menara "antizombi"-nya. Barangkali bagi orang lain, tidak ada yang spesial dari Shime-machi. Tapi bagiku, Shime-machi menyimpan kenangan tersendiri. Angin dinginnya. Lampu merahnya. Jembatannya. Telaganya. Orang-orang di dalamnya.


Tiga bulan pertama di Jepang, dari Januari hingga Maret, aku habiskan di kota mungil ini. Itu merupakan masa-masa yang tidak mudah bagi kami, para staf Indonesia. Gegar budaya itu nyata ada di hampir setiap hal yang kami temui. Tuntutan dalam pekerjaan cukup membuat pikiran ini lelah. Dinginnya musim dingin juga merupakan tantangan tersendiri. Beberapa dari kami juga baru pertama kalinya merasakan hidup sendiri, tidak menggantungkan diri kepada siapa-siapa kecuali kepada diri masing-masing. Perjuangan hari-hari awal itu melahirkan banyak cerita tersendiri. Tidak jarang kami para staf Indonesia berkumpul di salah satu apartemen, masak-masak sendiri, membuat pesta kecil-kecilan sembari berbagi cerita masing-masing di kantor. Tawa dan canda menghangatkan ruangan di tengah dinginnya malam. Terkadang ada staf orang Jepang yang membawakan makanan yang banyak dan enak-enak sehingga kami merayakan pesta rumah yang menyenangkan. Sungguh kalau dipikir-pikir, aku sangat merindukan momen-momen yang tidak akan pernah kembali tersebut.




Bagiku, Shime-machi akan selalu mengingatkanku akan saat-saat perjuangan dalam dinginnya angin malam, rasa rindu dalam sepinya jalanan, dan kehangatan kecil dalam kebersamaan. Setiap kumenoleh kembali ke saat-saat itu, aku merasa ternyata aku lebih kuat dari yang aku pikirkan. Kami mampu melewati semuanya dengan kepedulian untuk mendukung satu sama lain, dan kesabaran untuk selalu yakin bahwa hari baik akan datang pada waktunya.

Commentaires


You Might Also Like:
!
Widget Didn’t Load
Check your internet and refresh this page.
If that doesn’t work, contact us.
bottom of page