top of page

Salat Bergetar dan Kenikmatan Duniawi

  • DJ
  • Jan 5, 2018
  • 3 min read

Ketika mulai menetap di Fukuoka sejak awal bulan Januari 2017, hampir tiap pagi saya mengalami salat bergetar. Jepang memang dikenal sebagai negeri sering dilanda gempa bumi. Tak hayal, hal ini membuatnya mendapat julukan negeri bergetar (julukan karangan saya sendiri). Tapi, saya bergetar ketika salat bukan karena hal tersebut. Saya salat bergetar karena menggigil kedinginan.


Malam-malam musim dingin di Jepang saya lewati tanpa penghangat ruangan. Bisa dibayangkan, bagaimana saya harus berjuang melewati malam dengan hanya mengandalkan panas alami tubuh. Saya tidur menggunakan tiga lapis pakaian dan tiga lapis selimut. Dari ujung rambut hingga ujung jari kaki tertutupi oleh pakaian dan selimut. Hanya satu bagian yang terekspos oleh dunia luar: lubang hidung (agar saya bisa bernapas lega).


Kasur terbaik saya (tapi masih kalah baik dengan kasur di Tosu), bersama kasur santai saya di bawah.




Sedingin-dinginnya malam, subuh merupakan puncaknya bagi saya. Ketika alarm salat subuh berbunyi dan saya terbangun dari tidur, udara dingin semakin terasa menembus kulit. Salat subuh menjadi tantangan yang lebih besar lagi bagi saya ketika musim dingin. Dengan susah payah, saya melepaskan tangan dari jepitan ketiak yang hangat, melepaskan kaus kaki tebal saya, dan beranjak menuju kamar mandi untuk berwudu. Karena udara yang sangat dingin, pemanas air membutuhkan waktu sekitar 10 – 15 menit untuk membuat air keran menjadi hangat. Berhubung saya ingin lekas menunaikan kewajiban secepatnya, saya langsung menggunakan air keran begitu saja tanpa dihangatkan terlebih dahulu.


Astagfirullah. Itu yang namanya air, dinginnya membuat perih dan sakit ketika bersentuhan dengan kulit saya. Dinginnya air yang lebih dingin daripada es memberikan sensasi kejut tiap kali mengalir membasahi tangan dan wajah saya. Tak jarang, sumpah serapah dan nama-nama binatang tak sengaja keluar dari mulut saya, menodai kesucian ritual wudu. Terkadang, rasa dinginnya seperti membakar kulit sehingga saya sering berakhir dengan tangan mati rasa sehabis berwudu tiap subuh.


Saya kembali ke kamar untuk salat dengan tubuh bergetar menggigil kedinginan. Saya mencoba berdiri sambil membaca doa-doa dengan tenang, namun tangan bergetar bahkan sesekali berguncang hebat seperti tangan pemburu hantu berusaha memasukkan jin ke dalam botol. Suara komat-kamit doa saya pun lirih bergetar selama salat.


Ya, begitulah rasanya salat bergetar. Untungnya, setelah salat subuh selesai, saya langsung mandi dengan air yang sudah hangat setelah pemanas saya nyalakan ketika berwudu. Saya harus tegaskan di sini: demi Tuhan; dalam hamparan bumi, langit, dan segala isinya ini, mandi air hangat adalah kenikmatan terbesar yang Tuhan titiskan dalam musim dingin yang nista ini. Dari dulu, saya selalu mengidolakan tidur dan makan sebagai jawara kenikmatan duniawi; hingga saya dipertemukan dengan mandi air hangat di musim dingin...


Mandi air hangat di musim dingin yang paling nikmat adalah di malam hari. Rata-rata lama mandi malam saya pada saat musim dingin adalah 1 jam. 95% waktu hanya saya habiskan dengan hanya berdiam diri di bawah pancuran air hangat, sambil memikirkan tentang kehidupan. Suasana semakin semarak dengan alunan lagu yang saya nyanyikan dalam kamar mandi. Benar-benar waktu yang sempurna. Tak ada kesempurnaan yang mampu mengalahkannya. Saya bahkan pernah menghabiskan waktu di bawah pancuran hingga 2 jam; masa bodoh dengan tunggakan air yang mahal di akhir bulan, yang penting saya mampu menghabiskan malam yang indah bersama kekasih musim dingin saya (shower).

Bilik kenikmatan duniawi

Bilik kenikmatan duniawi

Namun, lagi-lagi bencana kerap menghancurkan quality time kami di kamar mandi. Air pancuran di apartemen saya memiliki penyakit yang kerap kambuh ketika saya sedang mandi. Sewaktu-waktu, air pancuran yang hangat bisa berubah menjadi dingin secara tiba-tiba. Sumpah serapah kembali mewarnai ritual sakral musim dingin saya tersebut. Butuh waktu sekitar satu hingga dua menit menunggu hingga air pancuran menghangat kembali.


Semua cerita itu hanya ada di musim dingin. Rasanya tiap kali memikirkan hal tersebut, saya selalu merasa kangen dalam hati ini. Bahkan di tengah kerasnya musim dingin dan beratnya pekerjaan di kantor, kita masih bisa menemukan kebahagiaan dalam suatu hal yang sederhana.

Comments


You Might Also Like:
!
Widget Didn’t Load
Check your internet and refresh this page.
If that doesn’t work, contact us.
bottom of page